Stasiun adalah tempat persinggahan, baik untuk kereta api, maupun para penumpangnya.
Stasiun kereta api, yang besar nan padat di tengah kota besar, ataupun stasiun kecil yang terpencil, selama masih ada kereta singgah, selama itu pula ada interaksi manusia di dalamnya.
Stasiun menjadi titik ruang ramai untuk para penumpang, petugas kereta, dan masyarakat sekitarnya. Dimana ada stasiun, di situ ada aktivitas masyarakat.
Demikian pula untuk stasiun Tanggulangin, stasiun kecil di selatan luaran kota Sidoarjo. Meskipun stasiun kecil, tapi ia menyimpan sejarah panjang pembangunan jalur rel pertama oleh pemerintah, yakni jalur rel Surabaya Kota-Pasuruan. Menyusul keberhasilan pembangunan jalur rel Semarang-Solo-Yogyakarta oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), maka pemerintah kolonial Hindia Belanda pun yakin dengan masa depan perkeretaapian di tanah koloninya di Asia Tenggara ini. Perusahaan kereta api milik negara, Staatsspoorwegen (SS) kemudian membangun jalur rel Surabaya-Pasuruan dan diresmikan pada 16 Mei 1878. Di antara jalur itu, dibangunlah stasiun Tanggulangin, dengan segala kelengkapannya yakni rumah dinas.
Seiring perjalanan waktu, pola operasi kereta api pun berubah, terutama ketika kereta api beralih kepemilikan ke pemerintah Indonesia sejak 28 September 1945. Pasang surut aktivitas kereta api pun terjadi, termasuk banyaknya perubahan fungsi bangunan di lingkungan kereta api. Bangunan rumah dinas Kepala Stasiun Tanggulangin, misalnya.
Belakangan, bangunan ini difungsikan sebagai kafe. Hal ini merupakan langkah yang menarik dan saling menguntungkan. Bangunan kuno nan klasik ini tak perlu tergusur modernitas dan tetap dapat berfungsi dengan wajah aslinya. Masyarakat pun bisa bersantai sambil menikmati aktivitas kereta api di stasiun Tanggulangin dari area ini. Mulai dari kereta api yang melintas langsung, maupun kereta api yang datang dan berangkat.
Akhir pekan lalu, saya bersama beberapa rekan pecinta kereta api bersantai sejenak di kafe ini. Sembari menyeruput es lemon madu yang segar di tengah cuaca yang terik, gawai andalan, Galaxy S20FE pun disiapkan untuk mengabadikan berbagai momen di kawasan ini. Terlebih lagi, dari area peron kita bisa melihat pemandangan gunung Penanggungan dari kejauhan. Dan bila cuaca cukup cerah, Gunung Semeru pun bisa turut nampak.
Seorang rekan Members sekaligus pecinta kereta api nampak mengamati kawasan stasiun.
Kafe bergaya rustic ini masih mempertahankan fasad asli bangunan stasiun. Yang membedakan mungkin hanya pagar yang memisahkannya dari area stasiun yang memang harus steril dan juga interior bangunan.
Sore hari yang cerah menyambut, dengan angin yang semilir. Matahari yang disebut sedang dalam titik terjauhnya dari bumi membuat pancarannya terasa lebih lembut dari biasanya, seiring dengan udara yang lebih dingin.
Gunung Penanggungan tampak menjulang di angkasa yang relatif bersih dari awan. Musim kemarau memang sedang di puncaknya.
Stasiun Tanggulangin memang stasiun kecil, dengan peron yang masih rendah. Kereta api yang berhenti di sini hanyalah kereta api lokal yakni Commuter Line Tumapel, Commuter Line Penataran, dan Commuter Line Supas. Setiap kali ada kereta datang, petugas pun bersiap memasang tangga untuk memudahkan turun dan naik penumpang.
Pada akhirnya, senja pun tiba, menjadi penanda akhir satu hari itu. Sinar matahari memendar lembut dari rimbunnya pepohonan. Tap aktivitas kereta api tetaplah berjalan.
Semoga saja, langkah pemanfaatan bangunan bersejarah ini terus berlanjut. Alih-alih diratakan dengan tanah, terlebih baik menjadi fasilitas yang bermanfaat untuk orang banyak, sambil bercerita sejarah, melalui fasad dan keberadaannya.
