Solo, 2022. Pandemi yang mulai mereda membuat aktivitas yang sempat terhenti sekitar dua tahun di kota ini kembali menggeliat. Pun tak ubahnya dengan sektor pariwisata. Pertengahan Mei, 2022, salah seorang kawan dari Banyuwangi sedang singgah di kota Solo. Ia ingin mengunjungi Umbul Leses yang berada di Boyolali. Namun, keinginannya itu tidak dapat terkabulkan karena jarak dari kota Solo cukup jauh dan waktu yang ada tidak mencukupi. Kemudian, kami putuskan untuk berjunjung ke Pura Mangkunegaran.
Sala, desa kecil yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo ini menyimpan segudang kisah dari masa lalu. Bermula dari sebuah desa kecil yang berawa dan dilintasi banyak sungai, lalu menjelma menjadi sebuah ibu kota kerajaan. Sejarah panjang direkam oleh desa ini. Kini, ketika zaman telah berubah, sejarah-sejarah itu masih meninggalkan jejak hingga sekarang. Salah satu penggalan sejarah yang menyelimuti kota Solo adalah Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran sendiri merupakan salah satu dari Catur Sagatra dinasti Mataram Islam bersama dengan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman.
Sebagai orang yang lahir dan tumbuh kembang di kota Solo, berkunjung ke Pura Mangkunegaran merupakan sesuatu yang belum pernah saya lakukan. Saya biasanya hanya berkeliling di sekitar Mangkunegaran seperti Ngarsopuro yang dahulunya juga menjadi bagian dari wilayah Mangkunegaran. Kesempatan berkunjung ke Pura Mangkunegaran ini tidak saya sia-siakan begitu saja. Sebagai orang yang menyukai sejarah, bangunan tua, dan tentunya kebudayaan Jawa, saya menjadi begitu antusias!
Matahari yang menggantung di kota Solo sudah meninggi. Kami sampai di halaman depan Pura Mangkunegaran sekitar pukul 11.00. Setelah memarkirkan sepeda motor, kami bertiga langsung menuju loket. Saya terkejut dengan pengelolaan wisata di Pura Mangkunegaran ini. Pengelolaan yang mereka lakukan sungguh baik. Selepas membayar tiket masuk, kami menunggu sebentar hingga ada pemandu. Tas yang kami bawa juga bisa dititipkan di loket. Cara pihak Mangkunegaran memanajemen wisatawan termasuk baik.
Setelah mendapatkan pemandu, kami bergegas menuju bagian dalam Pura Mangkunegaran. Lazimnya bangunan Jawa, sebuah pendopo menyapa kami. Pendopo ini menjadi pendopo terbesar di kawasan Asia Tenggara. Imajinasi saya tetiba terbang melintasi waktu dan membayangkan suasana di depan pendopo ini ketika Solo belum seperti ini. Tidak perlu waktu lama, saya bergegas mengambil Galaxy M52 yang berada di saku celana dan mengabadikan suasana di depan pendopo ini dengan Mode Ultrawide di Galaxy M52.
Hal yang menarik lainnya ketika berada di Pendopo Ageng ini adalah hiasan langit-langit yang berada di tengah pendopo. Sebagai penikmat fotografi, tentunya saya tidak akan melewatkan kesempatan ini. Berbekal kamera Samsung Galaxy M52, saya mencoba mengabadikan Hasta Brata tersebut. Saya menggunakan lensa Ultrawide agar sudut yang saya ambil bisa lebih lebar.
Lukisan Hasta Brata tersebut sangat disayangkan jika tidak difoto secara penuh. Sehubung dengan lokasinya yang berada di langit-langit, saya memanfaatkan kamera depan Samsung Galaxy M52 ini. Gawai saya letakkan di lantai dan menggunakan Mode 32 MP agar detail yang ditangkap lebih tajam. Pun kami bertiga juga tak luput untuk berswafoto dengan lukisan Hasta Brata tersebut.
Selain menggunakan Mode Ultrawide dan kamera depan, ada satu tips dari saya. tips tersebut adalah penggunaan Mode Panorama. Sejak gawai disematkan lensa Ultrawide, keberadaan Mode Panorama agak tergeser. Akan tetapi, bagi saya, mode ini masih seru untuk digunakan. Keterbatasan sudut pada lensa Ultrawide bisa diselesaikan dengan mudah dengan Mode Panorama. Mode Panorama di Galaxy M52 ini cukup sering saya andalkan dan hasilnya juga memuaskan!
Kisah demi kisah dilantunkan oleh pemandu. Tetiba, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu. Ah, sebagai orang yang melankolis, membicara masa lalu memang perkara sensitif. Hahaha. Selesai dari pendopo, kami menuju ke ruang utama yaitu Dalem Ageng. Layaknya bangunan Jawa yang memiliki pendopo, di antara pendopo dan bangunan utama terdapat area yang bernama Pringgitan. Area ini biasa digunakan untuk menggelar pertunjukkan wayang kulit. Di depan Dalem Ageng juga banyak hiasan yang menarik. Salah satunya adalah sebuah patung perunggu dari China. Jika sebelumnya saya menggunakan lensa Ultrawide, kali saya menyerahkannya kepada Mode Auto untuk mengabadikan foto. Kendati menggunakan Mode Auto, hasil kamera Samsung Galaxy M52 ini termasuk memuaskan bagi saya.
Usai dari Dalem Ageng, kami beranjak menuju area yang bernama Bangsal Pracimayoso. Bangsal ini merupakan tempat untuk berkumpulnya keluarga kerajaan. Yang membuat saya kagum adalah keberadaan taman yang berada di bangsal ini. Saya sangat betah ketika berada di taman ini. Nyaman dan asri. Taman yang ikonik ini sangat disayangkan jika tidak terabadikan melalui mata lensa. Dan lagi-lagi, dengan kamera Galaxy M52, saya mengabadikan keindahan taman kecil di dalam istana ini. Cuaca yang cerah dan matahari yang terik membuat cahaya begitu terang. Hal ini membuat saya untuk memutuskan menggunakan Mode Auto lagi. Kamera pada gawai Samsung sangat bagus jika pencahayaannya memadai. Oleh karena, sebatas menggunakan Mode Auto sudah sangat bagus.
Di taman ini pula terdapat koleksi burung yang di tempatkan di sangkar yang besar. Mata saya pun tak luput untuk mengabadikannya. Kali ini, saya memakai Mode Pro. Hal ini karena saya ingin mendapatkan efek fokus yang lebih dalam. Kamera Galaxy M52 telah dibekali pengaturan manual fokus di Mode Pro. Fitur ini sangat bermanfaat untuk mendapatkan kedalaman fokus. Saya menambahkan penggunaan zoom sebanyak 2x agar efek blur pada latar depan kian dalam.
Beranjak dari taman yang indah nan asri ini, kami menuju Bangsal Pracimayoso. Jika Members menyukai dunia arsitektur, maka boleh jadi Members tidak asing dengan nama Herman Thomas Karsten. Pria kelahiran Amsterdam, 22 April 1884 tersebut merupakan salah satu arsitek kenamaan Hindia Belanda dan Bangsal Pracimayoso yang berdiri hingga saat ini merupakan hasil dari renovasi seorang H.T. Karsten yang dikenal sebagai "blijver" yang berarti penetap. Kursi-kursi yang tertata rapi dan pernak-pernik di bangsal ini menjadi suatu pemikat tersendiri. Lagi-lagi, tangan saya sudah gatal untuk mengabadikannya. Saya ingin mendapatkan foto yang luas. Oleh karena, saya kembali memakai Mode Ultrawide pada kamera Galaxy M52. Saya mengambil dengan sudut yang agak ke bawah agar langit-langit di bangsal ini juga tampak. Perpaduan Mode Ultrawide dan sudu pandang dari bawah tersebut membuat foto menjadi unik.
Di samping Bangsal Pracimayoso, terdapat ruang makan. Di ruangan ini juga ditampilkan koleksi-koleksi Pura Mangkunegaran. Koleksi yang berada di sini sebagian besar merupakan hadiah dari kerajaan lain. Usai dari sini, kami melanjutkan perjalanan berkeliling. Masih banyak kisah yang tersimpan rapi di Pura Mangkunegaran seperti kisah Gusti Nurul yang menolak lamaran dari Ir. Sukarno. Jika Members penasaran, berkunjung ke Pura Mangkunegaran adalah pilihan yang tepat terlebih lagi menyukai sejarah. Perjalanan masih kami lanjutkan dan tidak terasa kami sudah berada akhir perjalanan setelah berkeliling selama satu jam.
***
Dan dalam perjalanan tersebut, kamera Galaxy M52 menjadi kawan yang bisa diandalkan untuk mengabadikan foto. Mulai dari Mode Auto, Ultrawide, Panorama, Mode Pro, hingga kamera depannya bisa diandalkan. Perjalanan saya kali ini bukan hanya sekadar mendengarkan kisah-kisah dari masa lalu, melainkan juga merekam keabadian masa lalu melalui mata lensa Galaxy M52. Jadi, bagaimana pengalaman perjalananmu bersama Galaxy yang kamu miliki?
Foto-foto lainnya selama berkeliling ke Pura Mangkunegaran:
Catatan tambahan:
1. Harga tiket masuk ke Pura Mangkunegaran sebesar Rp.20.000 untuk wisatawan domestik dan Rp.40.000 untuk wisarawan mancanegara.
2. Untuk pemandu, dipersilakan untuk memberikan uang tip seikhlasnya.
3. Jam operasional Pura Mangkunegaran sebagai berikut:
- Senin (kecuali Senin Wage), Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu, dan Minggu: 08.00–15.00 WIB
- Khusus hari Senin Wage dan Kamis: 08.00–14.30 WIB
- Hari Libur Nasioanal, tutup.